Jumat, 14 Juli 2017

BAB 1

[Semua foto saya sebelum berjilbab dihapus jadi mohon maaf jika berpengaruh pada isi Blog. Doakan istiqomah ya teman-teman, terimakasih!]


Pagi itu - seperti rutinitasku selalu - aku bangun tidur, selesai dimandikan dan berpakaian setelan warna hijau tua, lalu bermain-main di rumah Mbok Tuo atau menyelinap ke sisi timur rumah – mengajak bermain anak tetangga. Priska seumuran denganku, sama tahun lahirnya, hanya beda tujuh bulan saja jaraknya aku lebih muda. Sepanjang aku bisa mengingat, dia sahabat pertama yang kumiliki dalam hidup. Orang tuaku berasal dari sebuah wilayah paling selatan dari Yogyakarta, lalu nasib mengadu mereka mencari nafkah di pelosok nun di atas bukit; Gunungkidul. Itu nama sebuah kabupaten, tahu. Nah, orang tuaku tinggal di sana setelah menikah, dan aku juga lahir di sana. Lahirku diperkirakan jatuh pada awal Januari 1994, tapi lalu meleset mendahului jadi ke tahun 1993 akhir. Sehari sebelum natal dirayakan, setiap itulah aku selalu merayakan pergantian umur. Kabupaten Gunungkidul itu luas, aku menempati salah satu sudut kecil nyaris tertinggal pembangunannya di bagian utara sana. Kampungku yang berkelok-kelok punya nama unik; Ngrandu, walau aslinya tak banyak pohon randu tumbuh di situ. Atau dulu mungkin ada tapi sudah berkurang sangat banyak jumlahnya hingga tak dapat dikatakan ciri khas lagi. Walau tinggal di sana, tapi orang tuaku – yang sebagai pegawai negeri sipil golongan awal dulu – belum mampu membeli atau membangun sebuah rumah. Maka anggota keluarga kami yang dulu berwarga tiga orang dengan aku, tinggal menyewa di salah satu rumah penduduk yang kosong, atau disewakan bersama induk semang, di sana. Tempat pertama yang kukenal sebagai rumah adalah rumah Mbok Tuo.

Mbok Tuo – nama sebenarnya Warti – berkulit coklat legam, berambut keriting, suka tertawa renyah, dan setiap kata-katanya mencerminkan kasih sayang padaku. Usianya sudah lebih setengah abad. Kupanggil mbok tuo karena itulah panggilan untuk nenek di kampungku. Ia pengasuhku dulu. Jadi, sudah lama sebenarnya Ibu bekerja di sebuah SD negeri seberang kampungku, lalu setelah memutuskan menikah dengan bapakku, mereka menyewa tempat tinggal yang bergandengan dengan tempat Mbok Tuo. Karena kedua orang tuaku bekerja, maka aku sekalian dititipkan pada Mbok Tuo itu setiap pagi hingga jam pulang kerja, sejak aku bayi hingga mulai bisa membaca. Rutinitas kegiatan yang kulalui yang bisa kuingat akan kuceritakan, semua mulai dari aku balita, karena cuma pengalaman sejak usia itu yang bisa kuingat. Pada masa aku bayi, dan tentu sudah ikut diasuh Mbok Tuo juga, tentu otakku belum mampu menyimpannya. Ada sih kisah yang kudengar dari cerita Ibu atau Mbok Tuo sendiri, tapi aku tak merasa mengalaminya secara pribadi sehingga kisah itu tak terlalu kusimpan juga dalam memori.

Waktu itu umurku empat tahun. Berambut potongan pendek lurus, belah tengah yang legendaris, dan syukurlah rambutku bagus semasa kecil. Hitam – tidak merah sebagaimana anak lain yang suka main di panasan – lurus, dan tidak banyak tingkah macam bercabang, ketombe, atau kutuan, juga mudah sekali disisir. Aku tak ingat apa sampoku waktu itu hingga rambutku bisa sebagus itu. Seperti anak balita pada umumnya, tinggiku belum sampai meja, berat badanku juga sedang-sedang saja, artinya tidak obesitas tidak pula kwashiorkor. Pagi-pagi aku rewel karena ngompol di celana, ini agak memalukan sebenarnya tapi kuceritakan saja. Jadi Mbok Tuo yang mengganti pakaianku dan aku siap bermain lagi. Aku sangat suka main jual-jualan, dan tertarik sekali akan cara membuka plastik buat wadah dagangan makanan, seperti yang dilakukan bakul-bakul jajanan di pasar. Mak Lastri yang baik hati, masih cukup muda usianya, gempal badannya, berkulit putih dan berambut ikal sebahu, memberiku lima lembar plastik klip yang biasa dipakai untuk bungkus kacang bawang, lalu kumainkan dengan sukacita. Sungguh, kebahagiaan paling hakiki memang ada di masa kecil, dimana hal-hal sederhana saja bisa menjadi menyenangkan, karena aku sebagai anak kecil waktu itu hanya berpikir semata pada permainanku yang mengungkap rasa ingin tahu akan plastik-plastik itu, tanpa berpikir adakah kegembiraan lain di luar sana yang dapat kutemui.

Priska anak yang baik, dia anak Mak Lastri yang memberiku plastik tadi. Selalu sopan terhadapku, memanggiku ‘Dik’ karena aku lebih muda, dan kalau ngobrol sesekali memakai Bahasa Jawa krama untuk menganggapiku yang berbicara ngoko. Hal itu dilakukannya karena ibuku adalah guru di sekolahnya, dan bapakku yang berseragam adalah seorang pegawai negeri. Di masa sebelum reformasi itu, jabatan guru adalah hal terhormat nyaris sejajar dengan kepala desa, apalagi dengan seragam PNS-nya. Kedua orang tuaku mempunyai hal itu jadi syukurlah, kehidupan kami agak terpandang walau rumah masih numpang. Priska sering sakit gigi, gusi bengkak, atau apalah aku tak tahu, yang kulihat dia lalu diantar bapaknya ke Puskesmas di kecamatan buat menemui perawat gigi di sana. Bapaknya Priska, Pak Darman namanya, punya bengkel yang menjadi satu-satunya bengkel di kampung kami. Sepanjang masa awal kehidupan sosialku, nyaris setiap hari kulalui dengan bermain bersama Priska di rumahnya yang sekaligus menjadi bengkel bapaknya pada bagian depan, di rumah Mbok Tuo, atau berkelana ikut ke sawah setiap musim menanam, menyiangi, atau panen.

Waktu aku masuk TK, Priska juga satu kelas denganku. Di kampungku tak ada TK, sekolah apapun tak ada juga. Maka kami menyeberang keluar kampung untuk memperoleh sarana pendidikan perdana. Taman kanak-kanak tempat orang tuaku mendaftarkan namaku sebagai murid itu adalah TK ABA. Letaknya di Katongan. Kelurahan yang membawahi kampungku dan beberapa kampung lain. Jaraknya dekat saja, hanya satu kilometer atau sekitar lima menit ditempuh dengan berjalan kaki dari rumah Mbok Tuo, aku sudah bisa menjumpai sekolah baruku di Katongan itu. Tiap pagi aku berangkat, kadang diantar orang tua karena sekolah SD tempat ibukku mengajar tak jauh dari TK, kadang diantar Mbok Tuo, kadang ikut bersama dengan Priska dan mamaknya. Mamak itu panggilan untuk ibu di daerahku saat masa kecil itu. ABA adalah singkatan dari Aisyiyah Bustanul Athfal, sebuah majelis pendidikan yang kiprahnya tak lepas dari peran Ki Ahmad Dahlan selaku pendiri gerakan Muhammadiyah, karena TK-ku itu juga salah satu sekolah milik organisasi Islam terbesar di Indonesia itu. Walau sekolah berbasis keagamaan, seragamku waktu TK dulu sama sekali tak berjilbab. Kemeja kuning terang sewarna cahaya mentari pagi yang menerobos rumpun-rumpun bambu, rok rempel hijau tua yang segar seperti daun pohon mangga, itupun masih ada dasinya, hijau tua juga, dan ada topi berwarna senada. Seingatku pada topi ada lambangnya, tapi aku lupa seperti apa bentuknya. Seragam nan cerah ceria itu kugunakan setiap hari senin sampai kamis, jadi aku punya dua setel pakaian yang bisa digunakan bergantian. Untuk hari jumat sabtu, seragamku lain lagi, yaitu pakaian olahraga berwarna merah muda, dengan nama TK dicap pada punggungnya, dan pasangannya, oh bukan main manis, celana training merah hati yang bergaris pada sisi jahitannya. Seragam itu dikenakan pada hari jumat sabtu, karena pada sabtunya kami ada jadwal pelajaran olahraga. Kedua seragam itu, pas sekali di tubuhku, dan aku merasa seolah kelak akan menjadi wakil presiden wanita dengan seragam itu. Sebagai anak kecil yang ibunya berlatar belakang pendidikan dasar, tentu aku senang sekali mulai bersekolah, dan waktu itu punya tekad yang kuat untuk melanjutkan pendidikanku kelak hingga tinggi.

Siang itu, belum terlalu siang sebenarnya, sekitar pukul sepuluh aku dan Priska baru pulang sekolah setelah masuk dari pukul setengah delapan tadi. Taman kanak-kanak sebetulnya bukanlah sekolah melainkan sebuah kelompok bermain, tapi supaya mudah disebut maka kukatakan sekolah saja. Di sekolah tadi ada acara makan bersama setelah kegiatan belajar mengajar dirampungkan lebih awal. Ini kegiatan rutin setiap hari jumat di sekolahku yang digagas oleh Bu Larmi dan Bu Yayuk, dua guru resmi pertamaku. Bu Larmi berpembawaan angker, tubuhnya yang gemuk dipadu raut wajah yang jarang tersenyum membuatku ingin terkencing-kencing karena takut padanya di hari pertama masuk sekolah. Bayangkan Cik Gu Besar di serial animasi Upin & Ipin, nah seperti itulah ibu guruku. Konon menurut cerita kawan-kawan baruku di TK, Bu Larmi terkenal galaknya. Syukurlah, sampai lulus setahun kemudian, aku belum pernah sekalipun terkena semburan kemarahannya. Bu Yayuk kebalikannya, tubuhnya kurus tinggi agak melengkung, dan pembawaannya suka tersenyum sambil kadang terkekeh-kekeh walau tak ada suatu hal pun yang lucu. Melihatnya seperti melihat daun kelapa ditiup-tiup angin, ramah tetapi agak membosankan. Dua ibu guruku selalu datang mengajar setiap hari, kadang merajai satu kelas berduaan. Tak jelas kenapa tidak satu-persatu bergantian saja, ataukah memang seperti itu tata cara mengajar anak taman kanak-kanak? Keduanya tinggal tak terlalu jauh dari TK-ku, masih dalam lingkup satu kecamatan. Dari kedua guru TK-ku ini aku menaruh respek yang sama, tak ada salah satu yang kufavoritkan lebih dari yang lain. Beliau berdua sudah lama mengajar di TK tempatku sekolah itu, dan masih mengajar lagi terus hingga angkatan-angkatan jauh setelahku. Guru TK di tempatku sekolah tak pernah berganti, orangnya selalu itu-itu saja, dan tak pernah ada guru lelaki. Entahlah mengapa.

Makan bersama rangkaian acaranya selalu sama. Kami para murid TK membawa makanan dari rumah masing-masing, lalu nanti di kelas akan ditukar-tukarkan dengan teman yang lain. Semacam kado silang begitu, tapi semua isinya adalah makanan. Makan bersama itu, tak jelas bagiku maknanya apa karena jam diadakannya tanggung. Dikatakan sarapan sudah terlambat, mau disebut makan siang belum masuk tengah hari. Karena kami anak kampung, makanan yang dibawa tentulah nasi dengan lauknya saja. Itu menu yang standar dan bisa disajikan baik pagi, siang, maupun petang. Tak ada yang kepikiran membawa appetizer semacam sup-supan atau salad buah, apalagi kerasukan ide membawa puding buat pencuci mulut. Pendek kata, menu makanan yang dibawa kami sekelas nyaris sama semua, nasi dengan lauk, dan itu berulang setiap jumat dalam seminggunya. Agenda pelajaran pada hari jumat dikurangi, dan kami para murid beserta dua guru sibuk dengan acara makan-makan di akhir pelajaran. Ibuku tak pernah sempat memasak pagi-pagi, jadi selalu masakan Mbok Tuo yang kubawa. Pagi itu bekalku adalah nasi liwet yang dimasak pakai ketel, sedikit pera, dengan lauknya kering tempe pedas bercabai-cabai. Tak tahu mengapa masakan Mbok Tuo selalu memakai cabai dalam jumlah berlebihan, tapi memang itu ciri khas masakan orang di daerah sana. Pedas, tapi enak. Meskipun aku tak suka cabai, tapi kalau makan masakan pedas Mbok Tuo, rasanya bisa juga kutelan. Jamanku kecil dulu – antara tahun 1997 - belum menjamur orang membawa makanan dalam wadah box plastik, jadi makanan sedapku hari itu dibungkus dalam daun pisang dari kebun Mbok Tuo sendiri, dan diikat tali karet supaya tak tumpah berceceran. Bau daun yang harum menambah enak rasa makanan, itu yang kupelajari setelah aku dewasa nanti. Waktu makanan tersebut kukumpulkan pada bu guru untuk kemudian dibagikan secara acak, bertukaran dengan kawan lainnya, aku mendapat sebuah bungkusan daun juga, kali ini agak beda, daunnya jati tua. Aku tak makan pagi itu di sekolah, mungkin karena tak terlalu lapar, jadi kubawa pulanglah saja si bungkusan daun jati yang belum berkurang sesuap pun isi dalamnya. Biasanya kumakan di sekolah. Aku terbiasa makan sendiri sejak kecil, jarang sekali disuapi. Teman-temanku sekelas sebagian ada yang seperti aku, bisa makan menggunakan tangan sendiri, atau masih disuapi mamaknya yang sedari mengantar pagi tadi setia menunggui anaknya di luar gedung TK.

Aku tak pernah ditunggui semasa sekolah. Pagi kalau sudah diantar, pasti selanjutnya aku ditinggal. Jika yang mengantar bapakku, sekalian mengantar ibuku mengajar, maka seterusnya beliau akan memacu sepeda motor Astrea lawasnya ke sebuah SMP nun jauh puluhan kilometer dari kampungku, untuk menepati kewajibannya mengabdi sebagai pegawai tata usaha. Ibuku sendiri, kalau mengantarku sambal berjalan kaki, pasti tak kan menunggui karena beliau harus segera menuju SD-nya untuk mengajar para kakak kelasku di sana. Kalaupun yang mengantar adalah Mbok Tuo atau dititipkan pada Mak Lastri, berikutnya pasti ditinggal juga Karena beliau berdua harus segera ke ladang umtuk mengurus tanaman palawija, atau ke sawah untuk merawat padi. Maka aku tinggal sendiri selama pelajaran berlangsung, Priska juga, beberapa temanku yang lain juga. Sementara sebagian lain yang cengengnya keterlaluan, anak bungsu mamaknya, masih menyusu, atau terlampau manja, beramai-ramai ditunggui di luar gedung sekolah, sampai jam kelas berakhir nanti. Di luar gedung itu, mereka saling bercakap-cakap. Kadang dengan sesama mereka, ibu-ibu rumah tangga sejati para pengurus anak, atau juga melibatkan Lik Sumini, penjual makanan kecil di depan sekolah yang langganannya tak lain dan tak bukan para penghuni TK, plus warga SD yang letak sekolahnya berhadapan dengan TK-ku. Begitu terus setiap hari, tak bosan-bosan seperti juga kami yang belajar di dalam kelas sini.

Jam sepuluh pagi, acara makan bersama berakhir, Kalau ada yang tak habis atau tak mau makan boleh dibawa pulang, biasanya dibungkuskan oleh ibu guru agar rapi. Aku dan Priska bergegas ke ladang menyusul mamaknya dan Mbok Tuo-ku. Matahari jam 10 masih hangat, tak panas menyengat, kami bisa berjalan dengan tenang. Ladang itu tak jauh letaknya dari TK, hanya perlu menuruni jalanan ke selatan, lalu belok timur sedikit berjalan kaki, dan sampailah kami. Di sana, kuserahkan bungkus makanku pada Mbok Tuo. Lauknya hampir sama dengan yang kubawa, kering tempe juga. Tempe yang dipotong kecil-kecil, ditumis dengan bumbu-bumbu dasar, dan diberi kecap. Mbok Tuo-ku menyambutnya dan langsung memakannya sambil tertawa kepadaku.

“Ngerti wae koe Nduk, Mbok Tuo lagi ngelih”, ujarnya terkekeh padaku.

Aku tertawa saja, mungkin tak mengerti maksudnya waktu itu, tapi senang melihat Mbok Tuo-ku makan.

Aku dan Priska lalu mengintip jambu biji dalam tenggok yang ditutup sehelai kain jarik penggendongnya.

“Makanlah, itu baru kupetik tadi dari pohon. Sudah masak, dagingnya merah dan empuk. Manis sekali. Tadi ada banyak, sebagian kubuang karena sudah dimakan codot”, ujar Mak Lastri yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

Aku tentu senang mendengarnya, Psidium Guajava yang kuning berbinar-binar itu menerangkan hatiku. Aku dan Priska mengambil sebiji masing-masing, langsung memakannya dengan gigi – semacam kelinci. Kulitnya yang kuning mulus agak sepat, tapi isi dalamnya yang merah muda menggoda sungguh manis sekali. Khas pesona buah yang masak di pohon, bukan hasil imbuan atau karbitan para pedagang nakal. Kuhabiskan satu, dan selesai itu Mbok Tuo sudah merampungkan makan. Kami pulang ke rumahnya – atau boleh dikatakan rumahku juga karena aku mondok di sana – dengan berjalan kaki. Mbok Tuo menggendong tenggok berisi jambu, perlengkapan berladangnya, dan entah apalagi, sementara aku dan Priska berjalan menggendong tas sekolah masing-masing. Mamaknya masih tinggal di ladang. Kami bertiga berjalan dalam diam, Karena matahari sudah mulai menyiratkan hawa panasnya ke ubun-ubun kepala.


# # #

GLOSARIUM

codot: jenis kelelawar pemakan buah

krama: salah satu tingkatan bahasa dalam Bahasa Jawa, pemakaiannya sangat baik untuk berbicara dengan orang yang dihormati atau orang yang lebih tua. Memiliki dua jenis bahasa, yaitu krama inggil yang biasa digunakan untuk menghormati orang yang lebih tua atau lebih berilmu, dan krama madya yang biasa digunakan untuk orang yang setingkat namun untuk menunjukkan sikap yang lebih sopan.

kwashiorkor: salah satu bentuk malnutrisi atau gizi buruk

Ngerti wae koe Nduk, Mbok Tuo lagi ngelih (bahasa Jawa): Tahu saja kamu nak, Mbok Tuo sedang lapar

ngoko: salah satu tingkatan dalam bahasa Jawa. Umumnya dipakai di kalangan orang yang berumur sebaya dan dihindari untuk berbicara dengan orang yang lebih tua atau yang dihormati.

Psidium Guajava: nama ilmiah jambu batu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar