[Semua foto saya sebelum berjilbab dihapus jadi mohon maaf jika berpengaruh pada isi Blog. Doakan istiqomah ya teman-teman, terimakasih!]
Waktu kecil, pada pertengahan semesterku di taman kanak-kanak, kami sekeluarga pindah rumah. Dari tinggal di kediaman Mbok Tuo, orang tuaku mendapat tawaran untuk menghuni sebuah rumah lain di sisi barat kampung kami. Rumah itu baru saja ditinggalkan penghuninya yang juga telah menempati kediaman baru mereka. Maka, kami pun berencana pindah kesana. Hari pindahan ditentukan. Kalau tidak salah ingat, waktu itu hari Minggu. Karena lokasi tempat baru yang akan didatangi tidak terlalu jauh, sepertinya perpindahan berjalan dengan mudah. Banyak tetangga membantu. Yang paling kusuka dari tinggal di sana memang itu; tetangga yang ramah dan senantiasa gemar tolong menolong. Padahal kami pendatang, namun ketika di sana aku merasakan bahwa kampung tersebut merupakan kampung halamanku yang sesungguhnya. Barang-barang diangkut bersamaan. Waktu itu tidak banyak karena orangtuaku belum memiliki bermacam perabot. Yang utama saja, yang kuingat waktu itu aku ikut membawa kompor bersama Mas Roni, anak tetangga barat Mbok Tuo, yang sudah seperti kakak sendiri bagiku.
Ketika aku masih tinggal di rumah Mbok Tuo, kadang aku bermain ke rumah tetangga sekitar. Selain Priska, ada Mas Roni, Mbak Rita yang merupakan adiknya, dan Fitri yang juga sering bergabung. Aku anak sulung, jadi ketika mendapatkan teman seperti Mas Roni aku senang sekali karena jadi punya sosok kakak laki-laki. Umurnya beberapa tahun lebih tua dariku, mungkin berjarak sekitar empat tahun di atasku. Aku tak seberapa ingat jelas sih sekarang sosoknya, tapi yang kuingat perlakuannya padaku manis sekali. Aku sering digendong berkeliling kalau lelah, dan dia selalu mengalah terhadap permainan apapun yang kuinginkan.
Setelah pindah rumah, kami tidak putus komunikasi dengan Mbok Tuo. Aku masih sering datang kesana, sekedar bermain-main atau mampir seusai pulang sekolah. Apalagi jalan akses ke sekolahku selalu melewati rumah Mbok Tuo yang kusayangi.
Rumah baru kami - untuk selanjutnya kusebut rumah kami - berlokasi lebih tinggi. Jadi begini, kampungku berada di tanah perbukitan yang tidak rata. Kami tinggal di dataran tinggi dengan kontur tanah yang naik turun. Karena kondisi ini, maka penduduk membuat takik-takik seperti tangga berukuran besar, yang di setiap anak tangganya merupakan dataran landai yang dapat didirikan bangunan di atasnya. Rumahku terletak di ujung jalan depan belokan yang menurun tajam. Menghadap ke utara atau ka arah jalan bebatuan, dengan sisi kiri dibatasi oleh selokan kecil dan jalan setapak tanah. Di barat jalan setapak ini terdapat dinding batu kokoh yang di atasnya merupakan tanah milik tetanggaku. Sebelah kanan rumah merupakan halaman samping, dengan pohon jambu air tegak berdiri, dan di timurnya terdapat turunan yang diperkokoh batu juga agar tidak rubuh. Di sana berdiri rumah tetanggaku yang lain.
Tetangga barat rumah, namanya Mak Mug. Hidup berdua saja dengan suaminya setelah anak-anaknya merantau untuk bekerja. Aku tidak terlalu akrab dengan keluarga mereka karena waktu itu tidak ada anak kecil yang seumuran denganku yang bisa kuajak berkawan. Selain itu mereka juga kurang ramah terhadap anak kecil, jadi aku tak pernah sengaja bermain ke sana. Sebelah timur rumah, ada tetangga yang lain, namanya Mbah War. Rumah Mbah War ramai, dengan beberapa anak menantu serta cucunya yang juga berdomisili di sana, Teman pertamaku di rumah ini nantinya adalah salah satu cucu laki-laki Mbah War, yang meskipun sebetulnya tidak tinggal disana, tapi sering sekali datang ke rumah simbah-nya.
Di depan rumah kalau aku memandang ke seberang jalan, terdapat tetangga paling dekat ketiga. Dekat yang aku maksud adalah jarak yang diperlukan untuk berkunjung. Tetangga yang ini namanya Mbah Arjo. Beliau sudah begitu tua, dan tinggal seorang diri di rumah kayunya yang sepi. Anaknya yang kutahu hanya satu, dan tinggal di rumah berbeda setelah menikah sehingga Mbah Arjo hanya sendiri. Bagian depan rumah Mbah Arjo adalah sebidang tanah luas yang dijadikan ladang, jadi kalau musim tanam rumahnya tak terlalu kelihatan dari arah rumahku karena tertutup tanaman, Paling sering kulihat batang-batang singkong, atau tanaman jagung yang tinggi-tinggi semampai. Mbah Arjo baik sekali, dan selalu senang kalau aku bermain kesana. Mungkin dengan kehadiran anak kecil hidupnya menjadi lebih ramai. Aku sering datang ke sana bersama ibuku, sekedar mengobrol saat ibu menyuapiku makan, atau aku bermain di halaman sekaligus ladangnya, memetik daun-daun jati muda yang getahnya kemerahan untuk bahan masak-masakan.
Cerita lucu yang kualami di halaman Mbah Arjo adalah, aku sering sekali kehilangan sebelah anting. Entah terlepas ketika aku berlari-lari atau bagaimana, tapi pokoknya seingatku sudah dua kali ibu membelikanku anting baru karena yang satunya hilang. Kami tahu hilangnya di ladang Mbah Arjo karena akhirnya anting yang sebelah itu ketemu lagi jauh hari setelah aku dibelikan yang baru. Ketemunya selalu di sisa pembakaran daun-daun kering. Antingku setengah hangus, menghitam oleh jelaga, tapi ketemu di antara hitam abu dedaunan.
Rumah yang kami tinggali mulai saat itu sebetulnya aku kurang tahu milik siapa, tetapi pemiliknya berbaik hati mengijinkan bangunannya dihuni karena kebetulan mereka tinggal di kota lain. Kami tidak perlu menyewa atau mengontrak rumah tersebut, tetapi tentu saja merawatnya dengan tinggal di sana. Rumah tersebut berbentuk seperti rumah penduduk pada umumnya, tapi bermaterial lebih baik. Dindingnya sudah bata dimana sebagian besar penduduk lain saat itu masih berumah dengan dinding kayu. Ada pagar semen dengan jeruji besi di depan rumah yang melindungi beberapa pepohonan di halaman depan. Penghuni rumah sebelumnya mungkin penyuka tanaman. Ada satu cemara menjulang di halaman depan rumah. Cemara tersebut sangat cantik, dengan daunnya yang hijau tua ditiup-tiup angin. Pada waktu itu cuma halaman depan rumah kami saja yang ditumbuhi pohon jenis itu. Sayang tak berapa lama pohon tersebut ditebang tanpa aku tahu alasan pasti pemunahannya.
Cucu Mbah War, tetangga sebelah timur rumah setahun lebih muda di bawah umurku. Anak laki-laki kecil bernama Anggi, dia adalah teman bermainku yang paling sering setelah keluargaku tinggal di rumah di atas tempat tinggal neneknya. Salah satu permainan yang paling kusukai waktu kecil dulu bersama Anggi ialah balap sepeda. Ya, waktu itu aku baru punya sepeda baru beroda empat. Setelah sebelumnya bosan naik sepeda kecil roda tiga yang kupunyai sejak balita, akhirnya aku dibelikan sepeda baru yang lebih besar. Warnanya merah, dengan sticker keemasan melilit rangkanya. Roda-rodanya hitam, dengan tambahan dua roda kecil tambahan di samping yang membantuku berlatih keseimbangan sebelum aku mulai berani naik sepeda roda dua. Aku ingat ketika itu berlatih naik sepeda di kebun belakang rumah yang merupakan ladang. Waktu aku berlatih itu, ladang sedang tidak ditanami. Tidak lama waktu yang kubutuhkan untuk bisa mengayuh sepeda dengan dua roda saja, jadi akhirnya dua roda tambahan dilepas. Sejak itu aku selalu bersepeda dengan Anggi.
Suatu sore, kami berdua bersepeda agak jauh dari rumah. Menyusuri jalan depan rumah yang merupakan kumpulan batu kapur diratakan, kayuhan ban sepeda kami terasa bergeronjal. Kampungku belum dijamah pembangunan terlalu maju ketika itu. Selama beberapa tahun jalan yang ada di depan rumahku, atau akses satu-satunya penduduk di kawasan itu untuk keluar kampung, masih terbuat dari batu. Batu yang digunakan yaitu batu kapur putih, tidak terlalu keras, dan mudah dibentuk. Batu-batu tersebut dikumpulkan dan diratakan sehingga bagian atasnya dapat dilalui kendaraan. Hanya saja kadang terdapat baru yang meruncing, sehingga kalau berjalan terasa menusuk kaki, atau jika naik sepeda dapat menyandung ban. Hal sial tersebut pernah kualami.
Sore itu udara panas. Matahari bersinar jingga. Aku dan Anggi sudah mengayuh sepeda melewati belokan, dan sekarang lanjut ke perempatan nun di utara jalan. Dari perempatan ini kami berbelok ke kanan, dan bersiap akan balapan. Aku memimpin, sialnya karena jalanan menurun dan berbatu lagi, ban sepedaku tersandung. Dengan kecepatan tinggi karena pedal kukayuh sekuat tenaga agar lari sepeda kencang, ditambah kondisi jalanan yang menurun, sepedaku langsung terjungkal. Aku jatuh berguling-guling sampai ke jalan bagian bawah yang sudah melandai. Sepedaku entah kemana. Mengagetkan sekali waktu itu. Tidak sakit jadi aku tidak menangis, tapi kemudian yang kuingat aku ditolong warga sekitar yang melihat, lalu aku malah menangis karena takut. Cuma lecet sedikit dan tidak parah, petangnya aku dijemput bapak pulang dengan membawa sepeda merah bekas terjatuh. Aku tak pernah kapok jatuh lagi setelah itu, dan tetap suka naik sepeda bersama Anggi.
###
GLOSARIUM
simbah: nenek/kakek dalam bahasa Jawa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar