Rabu, 06 September 2017

BAB 2

[Semua foto saya sebelum berjilbab dihapus jadi mohon maaf jika berpengaruh pada isi Blog. Doakan istiqomah ya teman-teman, terimakasih!]

Gedung sekolah TK-ku sebenarnya bukan bangunan yang sejak awal direncanakan untuk tempat belajar mengajar. Melainkan sebuah rumah tua milik penduduk setempat yang juga sama tuanya, dan disewakan karena dulunya TK kami belum memiliki gedung. Karena tadinya rumah, maka bentuk sekolah TK-ku tentu seperti rumah pada umumnya. Berupa sepetak bangunan, sekat-sekat ruang dalamnya sudah dilucuti sehingga menjadi sebuah ruang besar, dan pintunya cuma satu di bagian samping rumah. Aku tak paham siapa arsiteknya dulu sehingga menempatkan pintu di samping dan bukannya di bagian depan bangunan. Dindingnya terbuat dari susunan bata yang direkatkan, belum disemen luarnya sehingga tidak bisa dicat, dan pintunya dari kayu yang dicat merah. Seingatku cuma ada satu pintu masuk yang sekaligus jadi exit door. Mungkin penghuni rumah sebelum jadi sekolah ini tak suka ada pintu belakang sebab maling suka masuk dari situ.

Bangunan TK menghadap ke timur - dilihat dari posisi pintu samping. Tapi begitu masuk, akan nampak kalau sesungguhnya kegiatan belajar mengajar dalam ruangan menghadap ke depan yang berarti sisi selatan. Bagian timur gedung memiliki halaman yang luas, lebih luas dari gedung sekolahnya bahkan. Di halaman ini, sisi utara diberi sumur dan kamar mandi, sementara sisi selatannya ditamani singkong dan kadang tanaman apa saja yang bisa tumbuh di situ. Ya, sebutlah itu kebun. Di tengah-tengan antara sumur dengan kebun, terdapat jalan tanah yang tepat menuju gerbang keluar. Yang kusebut gerbang itu sebenarnya tak lebih dari dua buah gapura semen yang menjadi semacam pintu masuk menuju ke TK. Sepasang gapura tadi semula berwarna putih, tapi karena faktor usia maka menjadi abu-abu kusam. Desa tempat TK-ku berada sangat jarang didatangi mahasiswa KKN, jadi tak ada tenaga sukarelawan yang mau mengecatnya ulang. Di depan gapura, terdapat jalan yang membatasi TK dengan pelataran SD. Di pinggir SD itu, berhadapan dengan TK, duduklah dua penjual makanan kecil yang sejak aku mulai sekolah sudah kuingat ada di situ. Mereka telah memonopoli tempat berdagang selama bertahun-tahun. Keduanya aku kenal, Lik Suminah yang sekampung denganku, dan satunya lagi Lik Sumini yang merupakan penduduk desa setempat. Kenapa namanya terdengar senada? Entahlah, mungkin mereka ditakdirkan berjodoh untuk sama-sama mengais rezeki di depan TK - sekaligus depan SD itu.

Di jaman aku TK, dagangan yang sedang laris adalah balon tiup dan lempeng bersaus. Balon tiup tentulah bukan nama makanan, melainkan sebuah mainan. Ia berwadah tube aluminium kecil macam pasta gigi. berbentuk gel warna jingga aneh berbau tajam yang membuat kecanduan ingin menciumnya terus, dan dapat ditiup setelah dikaitkan pada ujung peniup yang seperti terbuat dari batang cotton bud. Entah siapa yang memproduksinya, tapi warna kemasannya selalu sama. Tube aluminium kecil tadi selalu dililiti kertas pink dan peniupnya selalu berwarna kuning. Bagi kami dulu, anak-anak TK, balon tiup sungguh mainan yang ajaib. Gel jingga tadi saat ditiup akan berubah melembung serupa gelembung sabun tapi tak mudah pecah. Pendeknya ia seperti balon transparan. Kami sering berlomba-lomba meniupnya, siapa paling besar ia yang menang. Waktu setelah ditiup ia dapat dimainkan, atau dipecahkan lagi buat ditiup lagi. Harganya murah sekali waktu itu, hanya seratus rupiah saja kami sudah bisa bersenang-senang dengan gelembung balon tiup.

Lempeng bersaus lain lagi, itu salah satu jenis jajanan kegemaran para anak TK. Lempeng dalam bahasa daerah kami adalah sebuah kerupuk singkong yang tipis dan lebar semacam lempengan. Biasanya dibuat dari adonan singkong bercampur tepung dan entah bumbunya apa, lalu setelah diadon dibentuk bulatan panjang, diiris tipis-tipis, dan dijemur. Setelah kering ia dapat digoreng dan akan mekar menjadi lempeng singkong yang renyah. Prinsip memasaknya mirip cara memasak kerupuk instan bukan? Dijajakan seharga seratus rupiah juga, lempeng ini berpasangan dengan saus tomat yang disediakan penjualnya. Rasa manis dan renyah dari lempeng berpadu dengan pedas kecutnya saus, entahlah kombinasi rasa seperti apa jika dikunyah. Aku sendiri tak gemar jajanan itu, hanya senang melihat teman-temanku makan. Sebabnya tak lain tak bukan karena aku tak suka rasa pedas dari saus yang dingin.

Selain balon tiup dan lempeng saus, Lik-lik penjaja makanan tadi juga selalu membawa nasi bungkus kecil-kecil dibungkus daun pisang. Bayangkan, sebungkus nasi dengan kering tempe - selalu itu lauknya - cuma dihargai seratus rupiah saja. Memang tak kan kenyang makan sebungkus, tapi dua bungkus sudah lumayan untuk mengganjal lambung-lambung kecil kami. Betapa murahnya hidup sebagai anak TK tahun 1997. Aku tak terbiasa sarapan pagi di rumah. Jadi kadang kalau lapar, ya beli nasi bungkus kecil tadi. Seiring berjalannya waktu, kelak nasi bungkus itu akan berkembang variannya dengan menambah menu nasi goreng di dalamnya - harganya masih sama.

Jam sekolah saat TK berlangsung singkat, tak sampai tiga jam. Biasanya aku berangkat pukul setengah delapan, lalu kelas dimulai pukul delapan, dan diakhiri kalau tidak pukul sepuluh ya sebelas pagi. Saat pertama masuk yang dilakukan kedua ibu guruku adalah memimpin berdoa, dari situlah aku pertama mengenal tata cara berdoa sebelum belajar menurut ajaran agama yang kuanut. Oh ya perlu kuceritakan dulu, aku muslim, orang tuaku juga muslim. Bukan bermaksud menyinggung soal agama, tapi ini kuceritakan sekedar untuk pemahaman saja. Setelah berdoa, kami diabsen dengan maju satu persatu membalik gantungan buah bertuliskan nama-nama kami pada pohon kayu yang berfungsi sebagai papan. Usai acara absen mengabsen tadi, lalu kami dibagikan masing-masing sebuah buku tipis yang lebar, semacam lembar kerja siswa. Buku itu sungguh menarik, di dalamnya memuat berbagai tulisan dan gambar yang akan memandu kami belajar mengenal abjad, angka, baca tulis dasar, dan berhitung.

Sejak awal memegang buku tersebut, aku merasa menyukainya. Darinyalah aku belajar membaca, menulis, dan berhitung dasar. Di bagian sampul, terdapat kolom untuk para siswa menulis nama. Dari rumah aku sudah dibekali Ibu dengan sedikit pelajaran mengenal abjad maupun angka, termasuk cara menulis namaku sendiri, jadi aku tak mengalami kesulitan sama sekali untuk menggoreskan namaku di depan buku tersebut dengan pensil. Oh iya, selama duduk di bangku TK alat tulis yang dipakai memang hanya pensil dengan alasan jika salah akan lebih mudah dihapus. Bolpoin mulai kukenakan di sekolah ketika aku sudah SD. Dalam menulis nama ini, meskipun aku sebetulnya sudah bisa, tetapi terkadang aku membuat kesalahan. Namaku Dessy Purwandari, sering kusingkat nama belakangku dengan huruf 'P' saja, tetapi sering pula aku terbalik menuliskannya. Jadi aku punya kesulitan membedakan huruf yang bentuknya mirip. 'P' sering terbalik peletakan kepalanya, seperti aku juga sering terbalik menulis huruf depan namaku bila ditulis tidak kapital, 'd' menjadi 'b' atau bahkan 'p'. Kelak, bertahun-tahun kemudian barulah aku sadari jika yang kualami semasa TK adalah gejala awal aku disleksia.

Lembar-lembar awal buku, yang kupelajari bersama ibu guru dan teman-teman sekelasku adalah mengenal abjad dibantu gambar-gambar. Kelak pelajaran itu akan berlanjut menjadi mengeja dan membaca. Juga ada pelajaran berhitung dengan ilustrasi yang menarik hati anak-anak TK, kelak akan bersambung menjadi penjumlahan dan pengurangan sederhana. Aku tak paham apakah kurikulum TK yang notabene sebenarnya merupakan taman bermain dibenarkan memberikan pelajaran seperti yang kusebut di atas, tetapi itulah yang terjadi pada eraku.

Dalam satu kelas TK-ku, ada sekitar 20 orang murid. Beberapa di antaranya merupakan teman-teman sekampungku, lainnya berasal dari kampung-kampung lain sekitar sini juga. Dari seluruh teman sekelasku ini, tak semuanya aku ingat nama dan orangnya setelah aku dewasa. Yang kuingat dan masih kukenal hingga sekarang tak lebih dari separuh jumlah murid di kelas.

Yang pertama, Priska yang sudah kuceritakan di awal. Dia tetangga, kakak, sekaligus sahabatku sejak dari sebelum masuk sekolah. Kuanggap kakak sendiri karena usianya lebih tua daripadaku dan sikapnya yang mengayomi sehingga aku merasa diri punya seorang kakak. Lalu ada Isna, kawan sebangkuku yang pertama. Rumahnya sekampung denganku juga, setelah aku pindah dari rumah Mbok Tuo dan tinggal di rumah yang baru, kami jadi bertetangga. Di awal perkenalan kami, aku agak takut padanya karena dia suka mencubit. Beberapa kawan sekelasku pernah menangis karena dicubit oleh dia, aku juga pernah tapi beruntunglah aku tidak cengeng waktu itu. Kebiasaan mencubit Isna itu berkurang setelah kami lulus TK. Aku dan dia selanjutnya meneruskan ke sekolah dasar yang sama dan menjadi sahabat yang akrab hingga saat ini.

Yang kuingat lagi, Galang. Dia berasal dari kampung yang paling jauh dari TK, tapi tetap bersekolah di situ juga karena pada masa itu sarana taman kanak-kanak yang memadai sepertinya baru di TK-ku. Galang ini lebih kecil dari aku waktu TK, dan selalu ditunggui ibunya sampai tiba waktu pulang. Selain Galang, ada juga Gilang. Yang ini kurang kukenal dekat karena nantinya dia tetap tinggal di TK sewaktu aku sudah lulus. Kelak, dia jadi adik kelasku saat SD. Lalu ada Esti, Helna, Risma, dan Futri. Mereka merupakan teman-teman perempuanku semasa TK. Beberapa nama lain yang juga kukenal tak seberapa punya hubungan dekat denganku semasa itu tapi nanti akan jadi teman sekelasku waktu SD.

Dan taman kanak-kanak tempat aku memperoleh pendidikan awal menjadi sebuah pintu bagi perjalanan panjang pendidikan yang kutempuh hingga dewasa. Di sini awal mula aku mengenal bangku formal pendidikan, dan belajar bersosialisasi. Beberapa tahun setelahku, adikku juga mengenyam pendidikan di sini. Pada masanya, gedung sekolah TK sudah dipindahkan ke lokasi lain. Gedung TK-ku yang lama akhirnya menjadi sebuah tempat kenangan. Masih berdiri hingga kini hanya tidak difungsikan sebagai sekolah lagi, dan pasti akan diingat oleh bekas anak-anak murid yang dulu pernah duduk di ruangnya, berteduh di balik atapnya, dan belajar mengenal dunia dalam lindungannya.

###

GLOSARIUM

Lempeng: makanan ringan seperti kerupuk, terbuat dari singkong

Lik: singkatan dari bulik, panggilan untuk bibi di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar