Kamis, 18 Januari 2018

[Experience] Mengunjungi Bag End, Rumah Hobbit Mr Bilbo Baggins Versi Lokal

[Semua foto saya sebelum berjilbab dihapus jadi mohon maaf jika berpengaruh pada isi Blog. Doakan istiqomah ya teman-teman, terimakasih!]

Kamu penggemar trilogi The Lord of the Rings? Sudah nonton ketiga film maupun baca bukunya? Merasa lega Sauron sang penguasa kegelapan tydac bisa menjajah kemerdekaan kita? Atau justru kepincut Frodo dan Legolas? Ah kamu senasib sepenanggungan sama saya yang sesaudara penyuka karya-karya Professor John Ronald Reuel Tolkien juga. Tapi ngomong-ngomong tahu nggak? Professor JRR Tokiens menulis kisah pendahulu sebelum fantasi mahakarya The Lord of the Rings lho. Judulnya adalah The Hobbit. Kisahnya tentang Bilbo Baggins dan petualangannya sebagai orang keempat belas penangkal sial rombongan kurcaci dalam perjalanan merebut kembali harta yang dijaga naga di bawah Gunung Sunyi. Kalau mau tahu cerita lengkapnya baca bukunya aja atau nonton filmnya, saya nggak akan mengulas lebih lanjut di sini karena ini pos untuk nulis pengalaman liburan bukan resensi buku, oce?

Tapi saya bahas juga dikit deh. Jadi di The Hobbit, Mr Baggins diceritakan tinggal di liang hobbit-nya, yang bernama Bag End di Hobbiton. Hobbiton atau desa hobbit yang dibangun untuk digunakan dalam shooting film aslinya berada di Selandia Baru. Sumpah itu keren banget dan saya bermimpi-mimpi suatu saat bisa liburan ke sana. Sekarang, sebelum punya cukup dana untuk ke New Zealand, rasanya boleh juga kalau saya ke Bag End yang ada kawasan wisata Seribu Batu Songgo Langit, dekat Mangunan yang sudah saya kunjungi sebelumnya. Nah kali ini saya akan menceritakan pengalaman saat jalan-jalan di kawasan wisata Seribu Batu Songgo Langit, termasuk Bag End-nya!

Baca juga: [Experience] Jalan-Jalan Pagi di Kebun Buah Mangunan

Terletak agak menjorok ke kedalaman hutan pinus, lokasi ini bisa dicapai dengan kendaraan bermotor diparkir di tepi, trus kitanya jalan kaki semakin ke dalam menuju beberapa spot utama. Pintu masuknya berupa bangunan ala segitiga yang didirikan dari bahan mirip sarang burung, dengan ranting-ranting mencuat gitu. Di balik pintu masuk ini terdapat jembatan setapak sebagai jalan menuju lokasi-lokasi favorit wisatawan untuk dikunjungi. Oh iya, retribusi masuk dan biaya parkir lebih murah dari di Mangunan tadi, di sini hanya Rp. 3.500 saja per orang. Murah syekali kan?

Masuk, trus menyusuri jembatan yang ukurannya tidak terlalu besar, cukup dilewati satu orang dengan leluasa, namun kalau bergandengan dua-dua bakalan berasa sempit. Jadi berjalanlah satu-satu dan kalau berpapasan dengan orang dari arah berlawanan sebaiknya gantian lewat, jangan berantem kayak alay rebutan pacar. Jembatan ini terbuat dari susunan kayu, cukup kuat dipijak bahkan saya pakai lonjak-lonjak pun tidak bergerak - itu karena saya ringan. Di kedua sisinya dipagari dengan kayu juga yang dibentuk berseni sedemikian rupa jadi cantik dilihatnya. Di bawah jembatan ada aliran kecil air, saya nggak tahu ini layak disebut sungai tidak, tapi airnya cukup jernih dan mendengar gemericiknya membuat hati saya menjadi adem. Baidewai pada foto di atas fokusnya ke saya aja, jangan salah arah ke bapak-bapak mau lewat yang masih jauh di ujung jembatan.

Selesai melewati jembatan kayu, sampailah saya pada tanah lapang yang tidak ditumbuhi rumput. Rada becek dan sepulang dari sini saya membawa sepatu penuh jejak tanah kemerahan yang belum dicuci hingga saat ini. Untuk menuju rumah hobbit, ada plang penunjuk arah ke sebelah kanan, namun saya mampir dulu ke depan, ada gubuk-gubuk menarik yang belum lama ini dipakai shooting Keluarga Tak Kasat Mata. Itu lho pas adegan Mbak Rere alias Aura Kasih lagi ngobrol-ngobrol di sini dan diceritain soal pesinden yang dikubur di bawah tempat duduknya, hiiy! Filmnya agak mengecewakan karena ending-nya gaje, tapi sinematografinya cakep, dengan pemilihan tempat-tempat indah untuk visualisasi adegan. Setelah dipakai shooting itu, saya yakin tempat ini nambah banyak pengunjung wisatanya.

Terdiri dari sejumlah gubuk - saya lupa ngitung - suasana tempat ini nggak seserem pas di film. Ada satu tangga bebatuan menuju gubuk utama nun di atas, dengan gubuk-gubuk lain di sekelilingnya, membentuk huruf U seperti susunan pondok di perkemahan blasteran. Di depan setiap gubuk terdapat satu bangku tempat duduk memanjang. Gubuknya sendiri punya ruangan di dalam, tapi saya ngga berani masuk, takut rubuh mendadak karena si gubuk terlihat rapuh. Gubuk ini dibuat dari susunan kayu, tapi ada beberapa bagian yang kayunya sudah lapuk atau hilang. Nyoba duduk-duduk di depan gubuk, rasanya agak mistis, hahaha. Mendadak sunyi gitu padahal di sini rame dan saya berdua sama temen juga. Ah ini hanya perasaaan saya saja kali. Terbawa adegan pas ada tangan menjulur dari bawah bangku di belakang Mba Aura :'D.

Sudah banyak yang antri mau foto di spot gubuk ini, jadi mari kita lanjut saja ke rumah hobbit, yey! Bag End ini terbuat dari kayu dicat, dengan bentuk setengah lingkaran warna perpaduan orange dan coklat. Pintunya berwarna hijau tua dengan pegangan bulat, dan di sekelilingnya dihiasi ornamen bata. Di sisi-sisi pintu terdapat hiasan berupa seolah-olah kanopi, dengan topi sihir bertengger di atasnya. Mungkin itu punya Gandalf yang ketinggalan. Di atas atap ditumbuhi rumput-rumputan yang sebagian menjuntai, dan di bawahnya, mengapit pintu bundar terdapat dua jendela berbingkai putih. Rumah hobbit ini saya nggak tahu bisa dimasukin enggak, tapi selama ini belum pernah lihat pintunya terbuka. Tingginya mungkin hanya sekitar dua meter, kalau saya berdiri di depan bakal lebih tinggi dari pintunya. Di depan rumah, terdapat lantai papan dengan tiga dwarf berjanggut sedang tersenyum - eh satunya melotot. Tentu saja ini hanya patung sodara-sodara, bukan kurcaci beneran.

Ini saya sedang mencoba memulai pembicaraan dengan salah satu kurcari nyengir yang saya pikir adalah Thorin Oakenshield sang pemimpin pasukan. Tapi kok dia diem aja ya? Lagipula Thorin kan biasanya nggak punya selera humor -_-'. Jenggotnya juga belum beruban. Jadi ini pasti bukan Thorin. Huh padahal kan saya punya ide hebat untuk pakai GPS dalam menyusuri Mirkwood jadi para kurcaci nggak perlu tersesat saat keluar dari jalan setapak Peri. Khan saya bisa jadi penunjuk arah dan diajak untuk mendatangi Smaug. Eh andai Smaug masih hidup hingga saat ini, pasti bukannya serem malah pada diajakin wefie dan nge-vlog kali ya?

Di depan kurcaci songong yang diem aja diajak ngomong, terdapat pagar coklat mungil dan tanaman hias di luarnya. Ini mirip tanaman ibuk saya di rumah. Sepertinya selera berkebun para hobbit sama dengan ibuk saya. Ngomong-ngomong, ini kan saya ada di rumah hobbit, tapi kok malah hobbit-nya nggak ada ya? Yang nongkrong cuma tiga kurcaci, dua di dekat pagar, satu di pojokan seperti terkucilkan. Di mana Bilbo? Ah bagaimana kalau saya saja yang diajak berpetualang menggantikan Bilbo :D? Tapi sepertinya tidak bisa ya mengingat saya kebetulan jadi terlalu tinggi untuk naik kuda poni bareng para kurcaci. Jadi, saya pindah berwisata ke lokasi lain aja deh. Bye Bag End!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar