Selasa, 17 April 2018

[Cerita Kenangan] Beauty and The Bis

[Semua foto saya sebelum berjilbab dihapus jadi mohon maaf jika berpengaruh pada isi Blog. Doakan istiqomah ya teman-teman, terimakasih!]

Prolog:
Tadinya label ini memuat perjalanan hidup saya mulai dari kisah yang saya ingat ketika kecil. Maunya sih jadi urut kayak buku biografi pribadi gitu. Tapi baru sampai bab tiga kok udah sulit nerusinnya ya? Soalnya nggak semua peristiwa masa kecil bisa saya ingat berurutan. Jadi mulai sekarang saya bikin pos cerita kenangan ini memuat hal-hal yang saya alami yang sudah terlewat - ya banyak kisah masa kecil lah - tapi ngga harus urut seteratur bab-bab dalam buku gitu. Ini akan memuat cuplikan-cuplikan cerita saya aja. Selamat membaca :).

PS: Senengnya nulis pos berlabel ini tuh, nggak banyak istilah asing yang musti saya tulis ;P.

Beauty and The Bis

Dari kecil, saya nggak pernah suka naik bis. Soalnya saya mabukan anaknya. Bukan mabuk minuman keras tentu melainkan mabuk darat kalau naik kendaraan roda empat dan lebih. Oke, kita asumsikan saja bis karena itu yang saya angkat menjadi topik tulisan hari ini. Jangankan untuk naik bis dalam perjalanan jauh ya gengs, baru lihat bis saja saya sudah pusing-pusing dan mual. Kayaknya memang ini berlebihan, tapi saya yakin banyak orang lain yang ngalamin hal sama. Nah, sebelum saya tidak suka naik bis, tentu saya punya pengalaman traumatik yang menyebabkannya. Pengalaman pertama naik bis dalam perjalanan jauh yang bisa saya ingat jelas adalah waktu piknik sekolah dasar. Kalo nggak salah saya kelas lima waktu itu. Sebelum itu saya pasti sudah pernah naik bis juga tapi nggak ingat kejadian lengkapnya jadi saya abaikan saja.

Bisa saya ingat, pagi-pagi kamu semua murid kelas lima dan enam dikumpulkan di halaman depan sekolah. Harinya entah apa waktu itu tapi kami mengenakan seragam khusus dari sekolah yang berupa paduan kemeja kotak-kotak biru putih dengan bawahan rok atau celana biru gelap. Hampir semua murid tampaknya bersemangat akan pergi piknik. Beberapa anak ditemani walinya yang menunggu di tepi halaman, sementara sebagian lainnya memilih mandiri. Saya? Sekeluarga ikut piknik karena ibuk saya tuh guru di sekolah dasar tempat saya sekolah dan sedang menyelenggarakan agenda piknik tahunan bagi murid-muridnya. Di halaman depan kami semua diberi pengarahan nanti jalannya piknik akan seperti apa, mau jalan ke mana dulu, pembagian tempat duduk di bis, jadwal makan, peraturan tempat duduk dan sebagainya, yah yang kayak gitulah disampaikan. Sesudah selesai, langsung kami semua diarahkan menuju bis.

Saya sadar banget kalau saya ini udah pusing melihat bisnya. Lupa dulu bisnya dari perusahaan apa dan spesifikasinya kayak gimana - di foto kurang terlihat jelas, tapi itu bis gede yang buat pariwisata gitu lah. Apalagi waktu naik dan mencium aroma tempat duduk dalam bis. Aroma karet yang kuat, membuat perut serasa diaduk dan langsung mual. Tapi saya sok kuat aja, sambil ketawa-ketawa naik bis sambil ngobrol dengan teman-teman. Waktu itu belum jaman pakai masker kemana-mana jadi saya tidak menggunakannya untuk menutup hidung dan mulut. Padahal kalau ada mah bisa banget mencegah saya mencium aroma bis yang memualkan. Biar tidak kelihatan anak manja banget saya memilih duduk bareng dua teman sekelas, di bangku deretan tengah yang kursinya muat bagi tiga orang. Anggota keluarga saya entah pada duduk di mana, kayaknya di depan bareng guru-guru.

Sopir mulai menjalankan bis, dan saya amat bersyukur semua baik-baik saja. Sebelum naik bis juga udah dikasih Antimo dan dibekalin jeruk buat dimakan atau dicium kulitnya kalo pusing *ntah ide dari mana ini*. Kami semua bersemangat mau segera menuju lokasi wisata - kalo nggak salah keraton Jogja waktu itu lokasi pertama, trus nanti disambung ke museum dirgantara dan jelang pulang mampir ke taman Kyai Langgeng yang masa itu sedang hits. Di awal perjalanan, saya masih oke. Nggak jadi pusing plus mual karena keasyikan ngobrol dan makan permen. Tapi di tengah perjalanan, bencana dimulai. Tetiba saja saya mulai pusing-pusing, trus mual juga. Sudah saya coba tahan dengan ambil nafas panjang dari mulut, lepaskan. Gitu terus beberapa kali biar aroma bis nya nggak terlalu kehirup lewat hidung yang makin memperparah mabuknya. Tapi akhirnya aing nggak tahan, jadi muntah deh. Parah pokoknya sampai ditolongin sama pak penjaga sekolah yang ikut piknik juga. *Ibuk saya entah kemana malahan waktu itu.*

Akhirnya dipindahkan ke tempat duduk di depan, dikasih minyak angin dan kantong kresek *wkwkwk*, trus syukurlah perjalanan ke tujuan wisata pertama sudah mau sampai. Begitu sampai lokasi, ganti seragam dengan pakaian bebas di dalam bis - karena seragam saya kena muntahan - trus turun dari bis, seketika langsung lenyaplah segala gejala pusing mual perut seperti diaduk itu. Saya sehat sekejap mata. Pokoknya begitu menjauh dari bis langsung lah saya segar bugar seperti tidak pernah mabuk kendaraan sama sekali dan bisa ikut acara piknik dengan gembira. Heran kan? Berpindah ke tempat wisata-tempat wisata selanjutnya menggunakan bis yang sama, tetap pusing tapi lumayan enggak muntah karena jaraknya tidak terlalu jauh dan saya terus-terusan menghirup aroma minyak kayu putih biar aroma bis nya tidak menusuk penciuman. Pikniknya cukup menyenangkan waktu itu, saya sempat naik rolled coaster mainan di taman dan beli dua boneka pas mau balik. Pulangnya tetep mabuk lagi sampai lemes karena parah banget tapi begitu sampai rumah juga udah sehat lagi.

Itu ketika SD. Sejak saat itu saya menyimpan trauma terhadap bis. Tapi pas SMP, saya menghadapi ironi lain. Jadi saya disekolahkan ke SMP yang jauh dari rumah alih-alih yang dekat bisa ditempuh berjalan kaki. Dari seluruh teman-teman sekelas di SD, cuma saya yang SMP nya lain sendiri. Bahkan sekampung saya cuman saya seorang waktu itu yang sekolahnya beda. Diskriminasi ya? Tapi itu dilakukan atas dasar saya mendapat pendidikan lebih berkualitas di sekolah yang lebih bagus. Good job! Untuk sampai ke sekolah baru, saya mau tidak mau haris naik kendaraan umum a.k.a bis. Soalnya nggak ada yang luang untuk antar jemput, naik sepeda tidak memungkinkan medannya karena naik turun - w tinggal di gunung, dan waktu itu belum jaman ada ojek online. Jadi moda transportasi saya satu-satunya hanyalah bis. Itu juga pilihan sebagian besar siswa pada masa itu. Bukan bis segede bis pariwisata, tapi yang lebih kecil standar angkutan umum. Mari kita sebut angkot saja biar mudah dipahami. Mulai dari saat pendaftaran, saya diajarin ibuk ke sekolah naik angkot. Jarak dari rumah saya ke sekolah tuh sekitar lima belas menit naik angkot, jadi perkirakan sendiri berapa kilometernya. Pusing dan mual? Pasti. Tapi nggak sampai muntah karena cuma lima belas menit sampai. Berangkat pulang jadi setengah jam. Lumayan bisa ditolerir. Eh iya, waktu itu tarif naik angkot cuma seribu rupiah per anak jauh dekat. Murce sekali kan :).

Tiga tahun saya naik angkot melulu, mau tidak mau tumbuhlah saya menjadi lebih kebal bis dan hidung sudah tidak terlalu peka mencium bau bis, dari kursi aroma karet sampai aroma solar bahan bakarnya. Sejak itu saya udah lebih berani naik bis ke lokasi-lokasi yang lebih jauh. Ke rumah temen naik bis, bolos sekolah kabur naik bis, dan lain sebagainya dan seterusnya tanpa mengalami mabuk. Tapi nggak sampai keluar kota. Trus kejadian nyambung ke masa dewasa saya. Lulus kuliah D3 saya sempat bekerja di luar kota. Jauuh dari Jogja, saya berlokasi di Tangerang. Waktu itu pas udah selesai masa kerja, mau pulang kampung. Naik kereta kehabisan tiket, naik pesawat sayang mahal, jadi apa boleh buat saya terpaksa beli tiket bis. Sempet takut mabuk karena itu jauh banget dan pasti belasan jam perjalanan. Saya belum pernah naik bis sejauh itu soalnya nggak yakin apakah bisa kuat dan udah lama nggak naik bis bahkan jarak dekat juga. Sebelum pulang itu berangkatnya dulu naik kereta yang aman. Pernah naik mobil juga tapi ngga sampai sejauh pulang kampung. Terakhir pas jaman kuliah pernah naik bis lima jam ke Purwakarta dan mabuk juga karena itu jauh, macet, dan bisnya nggak nyaman. Sebelum itu pernah juga ikut rombongan kondangan ke luar kota naik minibus yang sopirnya amatiran jadi suka ngerem ngaget dan memabukkan. Intinya saya masih nggak suka bis apalagi untuk perjalanan jauh. Tapi hari waktu di Tangerang itu nekat wong kepepet daripada nggak bisa pulang kampung.

Berangkat dari Tangerang jam dua siang, sampai terminal Jogja jam setengah tujuh pagi dengan tiga kali berhenti di terminal yang dilewati di jalan dan singgah di rest area. Berangkat saya udah minum dua butir Antimo, maksudnya biar di jalan bisa molor aja tahu-tahu sampai. Udah sedia masker juga yang sebelumnya dituangin minyak kayu putih aromatherapy biar bisa mengakomodasi ketidaksukaan saya akan aroma bis wahaha. Tapi ternyata saudara-saudara, dua butir Antimo tidak ngefek apa-apa. Mata saya tetep seger sampai lewat area Bandung - kalo nggak salah. Di rest area minum dua butir lagi karena sebelum berhenti mulai pusing-pusing. Masih nggak ngefek. Malah semakin nggak ngantuk dan mulai pusing mual menyerang. Jadi di perjalanan saya minum dua butir lagi, total jadi enam Antimo yang saya telan. Gile, orang lain harusnya udah teler tapi saya tetep melek dan sadar sampai tiba di tujuan. Itu udah mualnya bertambah, kepala pusing muter-muter karena jalannya belak belok, nahan supaya nggak muntah karena takut nggak ada yang ngurusin soalnya di bis nggak ada penumpang lain yang kenal. Capek banget tapi tetep nggak bisa tidur. Trus sampai tujuan, turun dari bis udah lumayan lega. Bisa bawa koper sendiri dan gendong tas jalan sampai luar terminal ke lokasi penjemputan, udah sehat lagi sampai di tahap ini. Pulang ke rumah beres-beres masih juga sehat - tidak ada rasa kantuk sama sekali sungguh Antimo tidak berefek. Habis itu malah saya berani naik motor pergi facial, lumayan jauh jaraknya dari rumah. Naah, pas di tempat facial ini malah ketiduran nyenyak. Entah karena Antimo nya baru ngefek atau karena facial-nya enak (?), pokoknya saya ketiduran waktu itu dan baru sadar pas dibangunin mbak kapster yang mau bersihin masker. Wagelaseh itu mah.

Sampai hari ini saya belum pernah naik bisa jarak sangat jauh lagi. Sejak perjalanan bis yang menghabiskan enam Antimo itu saya jadi ogah ngebis lagi. Heran juga kenapa itu Antimo tidak berefek selama perjalanan. Apakah mungkin saya sudah terlalu resisten akibat waktu kecil keseringan minum Antimo pas naik bis? Tapi nggak sesering itu juga deh saya waktu kecil naik bis dan minum anti mabuk. Entahlah. Pokoknya sejak pengalaman naik bis di atas saya jadi nggak ngebis lagi dan tetep tidak suka bis. Naik taksi onlen sering, tapi pasti tidak sejauh perjalanan Tangerang - Jogja. Eh pernah ding belum lama ini buat ke luar kota tapi Alhamdulilah sekarang udah nggak mabukan lagi saya. Jadi...mungkin walau tidak jadi suka tapi saya udah nggak anti bis lagi sekarang :)!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar