Kamis, 24 Maret 2016

SEBUAH LORONG DI KOTAKU

[Semua foto saya sebelum berjilbab dihapus jadi mohon maaf jika berpengaruh pada isi Blog. Doakan istiqomah ya teman-teman, terimakasih!]

Link

Saya hobby beberes. Tadi, pas saya buka lemari buku - berniat ngeberesin soalnya kata ibuk saya sekarang lemari tersebut beralih fungsi jadi tempat berumah tangga para tikus akibat kurang terawat - saya mendadak ingat dulu punya sebuah buku berjudul SEBUAH LORONG DI KOTAKU. Sayang pas saya cari-cari buku tersebut sambil beberes nggak ketemu. Mungkin nyelip entah dimana atau dipindah tempat penyimpanannya. Padahal saya kangen sama bukunya. Tadinya akan saya foto untuk dipajang di blog ini, tapi karena nggak ada jadi saya terpaksa ngambil pict dari sumber lain.

Buku punya saya bersampul oranye dengan ilustrasi sederhana di sampulnya. Seperti ini nih...

Link

Buku ini pertama terbit pada tahun 1978. Udah lama banget ya? Saya aja lahir tahun 1993. Berarti 15 tahun setelah terbitnya buku ini. Sampai sekarang buku ini sudah dicetak ulang berkali-kali sepertinya. Berapa kali tepatnya saya sudah berusaha mencari tahu tetapi belum ketemu jawaban yang valid. Yang saya punya itu entah cetakan keberapa. Setiap cetak ulang pasti ganti sampul ya? Soalnya setiap saya search judul ini pasti bermunculan gambar buku dengan judul yang sama namun beda cover.

Judul pos ini saya tulis sama dengan judul buku - atau katakanlah novel - karya Nh. Dini. Buku tersebut saya baca pertama kali waktu SD, dan isi cerita di dalamnya masih saya ingat hingga sekarang. Saya sebenarnya bukan tipikal pembaca ulang, namun buku ini sukses mencuri perhatian saya dan sudah saya baca berulang kali tanpa bosan. Entah berapa kali sih tepatnya saya lupa. Sayangnya nih, terakhir saya ingat membaca buku ini adalah waktu SMP. Sekarang, biarpun bertahun-tahun sudah berlalu tapi saya masih ingin membacanya lagi, sayang bukunya nggak ketemu. Apa saya harus beli lagi ya?

SEBUAH LORONG DI KOTAKU menceritakan pengalaman masa kecil Nh. Dini selaku pengarangnya. Beliau ini salah satu penulis yang saya sukaa banget karya-karyanya. Biasanya saya menilai faktor kesukaan saya terhadap tulisan berdasarkan cara bercerita penulisnya. Dan saya amat suka dengan cara Nh. Dini bertutur dalam karyanya. Sederhana, tapi menarik. Detail dan apa adanya. Saya seolah dibawa hanyut dalam alur cerita dan ikut mengimajinasikan peristiwa yang dialami tokohnya sesuai deskripsi dalam buku.

Mengingat buku dengan judul di atas, membuat saya jadi terkenang akan masa kecil saya yang manis :). Saya menghabiskan masa kecil dengan agak nomaden, pindah-pindah tempat tinggal sesuai lokasi kerja kedua orang tua saya. Orang tua saya berasal dari Bantul, salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta tapi mendapat penempatan tugas di kabupaten Gunungkidul - DIY juga. Saya lahir di sebuah kota kabupaten kecil di dataran tinggi Gunungkidul, namanya Wonosari. Lalu menghabiskan waktu tumbuh dan berkembang sejak bayi, kanak-kanak, hingga beranjak remaja di sebuah dusun dalam kecamatan kecil di bagian utara kabupaten tersebut.

Di dusun tempat saya tinggal dulu, banyak sekali kenangan indah yang saya alami - secara dari bayi memang saya tinggal di sana. Masa kecil saya banyak dihabiskan dengan bermain saat belum sekolah. Kemudian saya mengenyam pendidikan pertama di taman kanak-kanak di daerah tersebut. Di kala itu, karena kedua orang tua saya bekerja, maka saya terbiasa dititipkan kepada pengasuh yang saya panggil Mbok Tuo. Di rumah Mbok Tuo ini juga orang tua saya - dengan saya pastinya - pernah tinggal selama beberapa tahun (dari saya bayi hingga TK). Tapi saya nggak terlalu ingat dengan detail sih semua kejadian waktu masih tinggal di rumah Mbok Tuo, soalnya sudah lama banget dan waktu itu saya masih kecil. Yang saya ingat beberapa aja. Salah satunya yaitu dulu kalau Mbok Tuo sedang sibuk, saya bermain dengan anak tetangga yang merupakan teman saya di sekolah juga. Seneng deh kalau mengingat masa kecil itu. Sungguh, tanpa beban pikiran. Saya bisa tersenyum-senyum sendiri saat membayangkannya :).

Selepas TK dan menginjak saya SD, keluarga saya pindah tempat tinggal. Masih di dusun yang sama sih, tapi rumahnya beda gang dengan rumah Mbok Tuo. Meskipun sudah berbeda rumah, tapi saya masih tetap sering main ke rumah Mbok Tuo. Rumah yang kami tinggali - setelah pindah dari rumah Mbok Tuo - saat itu merupakan satu-satunya tempat yang benar-benar saya anggap rumah. Karena setelah lulus SMP lalu melanjutkan SMA ke daerah Bantul - dan pindah rumah ke Bantul juga, saya masih merasa kalau rumah yang sebenarnya rumah saya adalah rumah yang di Gunungkidul. Bahkan kadang kalau saya mimpi pulang ke rumah, yang terbayang dalam mimpi saya juga rumah Gunungkidul itu padahal sudah 7 tahun lebih - hampir 8 - saya pindah rumah ke Bantul yang merupakan kampung halaman orang tua saya. Memang rumah itu membekas sekali dalam ingatan saya.

Jujur saja, menurut saya tinggal disana (Gunungkidul) jauuuh lebih menyenangkan suasananya dibandingkan setelah saya pindah kemari (Bantul). Keramahan masyarakatnya beda, nuansanya beda, pergaulan, bahkan logat bicaranya juga beda. Ah, saya kangen pulang kesana...:(. Apa kabar Mbok Tuo? Pasti sudah semakin sepuh. Kabarnya beliau sering sekali menanyakan tentang saya. "Kapan Nok Dessy datang berkunjung?" Terakhir saya kesana habis lebaran tahun kemarin. Itu pertama kalinya saya berkunjung setelah 7 tahun lebih pindah. Mbok Tuo bahkan tidak mengenali saya saat pertama kali muncul di ambang pintu rumahnya. Rumahnya masih sama. Rumah yang pernah saya tinggali saat masih kecil dulu. Rumah tempat saya bermain dan belajar :(. *mata saya mulai berkaca-kaca*

Mbok Tuo adalah panggilan kepada nenek di daerah tempat saya tinggal waktu kecil tersebut. Mbok Tuo saya adalah pengasuh yang menemani hari-hari saya dari masih keciiil banget. Dari bayi mungkin, sampai saya TK - bahkan SD. Saat masa kecil itu, saya bahkan lebih sering diasuh oleh Mbok Tuo dibandingkan ibuk saya sendiri. *maap ya ibuk*

Bicara soal masa kecil, ada teman-teman kecil saya yang akrab pada masa itu. Dua di antaranya masih sering kontak dengan saya sampai sekarang. Yang dua itu teman main paling seru. Waktu kecil, saya sukanya main boneka, rumah-rumahan, masak-masakan, dandan-dandanan, bahkan jual-jualan baju boneka yang saya buat sendiri. Hmm, cewek banget ya saya? :D. Sayang koleksi mainan masa kecil saya sudah pada nggak ada sekarang. Sebagian rusak, sebagian dikasih ke sepupu-sepupu saya oleh ibuk. Duh, harusnya saya koleksi aja dulu.

Dari kecil, saya punya kebiasaan menulis buku harian. Saya terinspirasi menulis dari sejumlah pengarang yang saya baca karyanya. Biarpun yang saya baca segala macam genre buku dan majalah, tapi semuanya membuahkan semangat yang sama : ayo menulis! Tulisan saya di buku harian bisa apa saja, nggak harus melulu pengalaman sehari-hari - meskipun kebanyakan memang itu yang ditulis. Buku harian - atau diary, jurnal, agenda, terserah penyebutannya apa - saya kalau dikumpulin sampai sekarang terus dijilid mungkin tebalnya sudah melebihi tebal skripsi. Buku harian-buku harian saya dari jaman kecil dulu masih ada lho hingga sekarang. Tapi maaf nggak kefoto semua yaa. Beberapa yang kefoto di bawah ini adalah buku harian tahun-tahun yang belum lama terlewati.


Bisa dilihat, hampir semuanya adalah bonus dari majalah, hahaha. Satu dari produk kosmetik, yang Wardah itu. Saya memang lebih suka berburu buku harian bonus dibanding membeli buku harian yang dijual bebas - meskipun untuk mendapatkan bonus buku harian dari majalah tetap harus beli majalahnya juga, sama seperti bonus buku harian dari produk kosmetik bisa diperoleh setelah beli kosmetiknya dulu. Kenapa saya lebih suka buku harian bonus dibanding buku harian beli? Sebab kalau membeli buku harian yang dijual bebas, rata - rata desainnya tidak dikhususkan untuk menulis cerita hari per hari dan polos saja tanpa aksen detail menurut saya. Nggak ada kolom-kolom khusus untuk mencatat hal-hal kecil namun penting, dan sebagainya.

2006 - 2012 - 2013 - 2016 paling baru

Lucu-lucu lho kalau saya baca ulang satu persatu buku harian ini. Saya jadi seolah berjalan mundur, melihat-lihat film yang peran utamanya adalah saya sendiri dalam beberapa tulisan :D. Beberapa bisa bikin saya tertawa, tapi beberapa bisa membuat air mata membanjir juga. Makanya saya membatasi baca ulang buku harian ini. Catatan masa lalu adalah pembelajaran, boleh dilihat tapi tidak boleh disesali. Biar nggak tergoda keseringan membuka - dan membaca - terus galau, akhirnya buku-buku ini saya letakkan di jajaran buku-buku lain kepunyaan saya. Biar samar ceritanya. Padahal emang nggak ada tempat lagi. Terus masih saya tutupin lagi dengan beberapa perabotan yang nggak muat ditaruh di meja rias sehingga harus masuk tempat buku, hahaha.

Tuh, terkamuflase kan :p
Makin tersamarkan

Dari sebuah ingatan tentang satu judul buku saja saya bisa nulis sebanyak ini. Nggak nyangka lho saya. Mungkin suatu saat nanti saya bisa menulis buku setebal ratusan halaman. Berapa lapis? Ratusan. Amin :).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar